KALAU
kamu pernah membaca buku sejarah Indonesia, kemudian membaca tentang seorang pahlawan
nasional dari Maluku yang bernama Pattimura, aku yakin deh kamu pasti
bisa membayangkan sosok ayahku. Ayahku berkulit gelap, sepasang alis dan
kumisnya hitam tebal. Karena wajah itulah, suatu hari Ayah pernah ditanyai oleh
rekan kerjanya,”Bapak ini orang Ambon, ya?” Bukan! Ayahku lelaki asli Jawa.
Tapi apalah artinya, toh Ayah seorang
Warga Negara Indonesia. Ayahmu orang
Indonesia juga nggak?
Tentu
aku tak sehitam Ayah. Kulitku kuning langsat, seperti Ibu. Tapi saat bertambah
usia, kulitku semakin gelap! Kata Ayah, semua yang dimiliki Ibu melekat padaku.
“Kamu
sama persis seperti almarhumah ibumu! Ibumu itu masih suka bicara meski matanya
sudah terpejam...” kata Ayah suatu ketika.
“Masa
sih...kalau mau tidur masih suka ngomel?” Tanyaku.
“Bibirnya
kering, sering sariawan!” Kata Ayah, lalu tertawa kecil. Aku terdiam. Aku memang
mewarisi sifat Ibu.
***
BRAAAKKK..!
Ayah membuka jendela kamarku. Sinar mentari yang menerobos melalui jendela
menyilaukan mataku.
“Ayo
bangun! Jam berapa ini?!”Teriak Ayah, lalu melangkah keluar kamaku.
Kupaksa
tubuhku untuk bangkit, tapi tetap saja aku duduk di tepian ranjang, masih
dengan mata sayu. Lamat-lamat terdengar Ayah berkoar dengan suara lantang.
“Kamu
nggak akan jadi orang cerdas kalau nggak pernah sholat Subuh! Karena rasa
malas itu akan selalu tumbuh...”
Kedua
mataku benar-benar terbuka. Kuraih handuk biru yang tergantung di belakang
pintu kamarku, kemudian bergegas ke kamar mandi.
***
Baru
saja aku turun dari motornya, Kak Sandi bersiap kembali ke rumah. Setiap pagi
memang ia yang selalu mengantarku kuliah.
“Uang
bensin nanti sore...”ucapnya, lalu memacu motornya, menjauhi pos parkir.
“Uang
bensin? Aku adikmuuuuu..!”Teriakku kesal.
Itulah
Kak Sandi, kakak laki-lakiku yang kedua. Ia selalu pandai mengambil keuntungan.
Ayah bilang, ia cerdas tetapi curang.
Baru saja kamu tahu buktinya kan?
Aku
berjalan menuju gedung di belakang pos parkir. Gedung berlantai tiga yang
dindingnya berwarna cokelat mocca. Gedung
Seni Rupa. Dari luar tampak begitu sepi. Aku memasuki pintu kaca yang lebar,
seperti di supermarket.
“Pagi,
Rifaaaaa...!” Widya menyapaku.
Aku
sedikit terkejut saat temanku yang kini berjilbab pink itu tiba-tiba muncul di hadapanku. Ini seperti penyambutan!
“Kamu
ceria...”ucapku.
Widya
senyum-senyum sendiri, seperti membayangkan setumpuk uang seratusribuan,
mungkin.
“Ada
apa, sih?”Tanyaku penasaran. Widya
tetap tak membuka mulut.
Kuraih
tangan kanannya dan kuajak keluar gedung. Kami duduk di gasebo depan.
“Aku
dibelikan ini sama ayahku!”Widya tersenyum sambil menunjukkan jam tangan hijau tosca yang melingkar manis di pergelangan
tangan kirinya.
“Ayahku perhatian juga, padahal ulang tahunku kan dua minggu yang lalu. Ini luar
biasa!” Kata Widya.
“Kalau
anak yang ngasih kado ke orangtuanya
itu baru luar biasa!”timpalku.
Kami
terdiam cukup lama.
“Iya,
Rif! Ayo kita beri kado ayah kita!”seru Widya.
Kami
berencana memberikan kado untuk ayah masing-masing. Tak peduli sedang ulang
tahun atau tidak, setelah uang cukup, kami akan membeli kado memberikan itu.
Ya, kado. Tapi apa?
(bersambung...)
Soalnya...aku bingung nulisnya!
Komentar
Posting Komentar