Langsung ke konten utama

Unggulan

Review: Makarizo Hair Repair Mask 45 ml

Holla, teman-teman pembaca :)  Akhirnya aku mulai nulis lagi, nih.. Kali ini aku membahas produk perawatan rambut kusut dan kering agar menjadi lebih indah dan mudah disisir, yaitu Makarizo Hair Repair Mask . Seperti namanya ya, produk ini adalah masker rambut. Tahu dong, hairmask tuh apa? Biasanya sih salon-salon kecil tuh sudah ada jasa perawatan rambut antara lain;  hairmasking , creambath , dan lain-lain. Hairmask adalah salah satu jenis produk perawatan rambut yang berguna untuk merawat kelembutan rambut. Untuk beberapa orang yang rambutnya 'sudah halus' biasanya cukup mengaplikasikan conditioner . Namun, orang yang rambutnya kusut banget (baca: rusak) perlu memakai hairmask agar kehalusan rambutnya lebih maksimal. Conditioner biasanya diaplikasikan setiap selesai keramas, sedangkan hairmask diaplikasikan seminggu sekali. Jadi, sampo aja nggak cukup, Nak! Sejujurnya rambutku termasuk jenis rambut yang kusut, kering, dan sulit diatur alias sulit disisir! Bahkan menggunak

cerpen anak kuliahan : Senior Sule



Pagi ini aku bersama beberapa teman kuliahku bimbang dalam ketidakpastian dosen.
            “Kuliah kriya anyam  jam berapa, Kay?”Tanya Rere padaku.
            “Iya...kapan, Kay? Sudah siang nih...”gerutu Sisy. Teman-teman Seni Rupa kelas B yang lain, yang duduk di depanku ikut menggerutu.
            Hiiih...bawel kalian! Kesalahan dosen nih...”kataku. Aku melangkah ke ruang dosen. Ternyata ruangan sepi. Jam cokelat tua di atas meja pembantu jurusan menunjukkan pukul 08.35. Aku pun kembali keluar. Teman-teman perempuanku masih di sana.
            “...sudah, ya! Aku lihat ke bawah dulu, siapa tahu ada Bu Lani di lantai bawah,” ucapku lalu melangkah pergi, menuruni tangga.
            Kurang beberapa anak tangga menuju lantai satu, langkahku terhenti. Aku menahan napas. Dia! Laki-laki itu, tentu seorang mahasiswa, berjalan menaiki tangga. Di belakangnya, dua temannya mengikuti.
            “Sisy...!” Aku kembali menaiki tangga dan menemui Sisy di depan ruang dosen.
            “Itu..cowok yang pernah aku ceritakan ke kamu!”bisikku padanya, sambil menunjuk ke tangga. Laki-laki itu bersama dua temannya melenggang di depan kami, lalu kembali menaiki tangga ke lantai tiga.
            Ooh...dia? Cowok yang katamu sering pakai celana khas Armand Maulana!” Sisy terus memperhatikan laki-laki itu.
            “Cakep sih...tapi sekilas mirip Sule, ya?” Sisy menatapku. Aku terkesiap. Sebenarnya, laki-laki itu tak benar-benar mirip Sule, komedian Bandung yang berambut ‘blonde buatan’ yang selalu dikuncir itu. Hanya gaya kuncir rambut mereka berdua yang tampak sama. Jadi? Sekilas mereka mirip.
            “Iya...rambutnya panjang sih, dikuncir...”ucapku.
            Eh, tapi mukanya tua banget, ya? Kayak sudah punya anak...”koar Sisy asal.
            Aku melongo. Sisy tertawa kecil.
            “Pasti cowok itu senior Seni Musik!”tebak Sisy di akhir tawanya.
            Emaaang! Di lantai tiga kan jurusan itu!”teriakku, tepat di telinga kirinya. Sisy mendorong kepalaku.
            “Namanya siapa, kamu tahu nggak?”tanya Sisy penasaran. Aku hanya menggeleng seperti orang linglung.
***
            Malam ini aku masih terjaga, berkutat dengan ponsel qwerty-ku. Padahal sejak dua jam lalu aku berbaring di tempat tidurku, tetapi mataku tak juga terpejam. Bukan insomnia, hanya kecanduan Facebook.
            Beranda Facebook-ku dipenuhi status terbaru teman-temanku yang itu-itu saja. Agung, Nanda, Afik, Zein, Mitha, dan aku sendiri. Hahaha, kecanduan Facebook! Beberapa detik kemudian status terbaru muncul. Vionita dengan status yang isinya kekecewaan karena pacar. Basi!
            Tunggu! Bukankah gadis chubby itu mahasiswi Seni Musik? Segera kutuju halaman profil Vionita. Di sana kuketikkan sesuatu :
            Viooo...SMS aku yah! J Penting!
            Detik itu aku menemukan  jalan pintas. Setelah bertanya-tanya pada Vionita, aku pasti tahu siapa sebenarnya mahasiswa yang mirip Sule itu karena Vio adalah adik kelasnya. Vio mengirim pesan di inbox Facebookku. Isinya sebuah nomor GSM yang sama dengan operatorku. Akhirnya kukirim pesan singkat padanya melalui ponselku.
            Vio, ini aku Kay.
            Sepuluh detik setelah pesanku terkirim, balasan dari Vionita sudah masuk ponselku.
            Iya Kay. Ada perlu apa nih?
            Aduh! Dia menanyakan inti pesanku? Ya! Pesan itu segera kubalas.
            Kamu kenal banyak seniormu ya? Kamu tahu nggak, senior yg rambutnya panjang, dikuncir gitu...rapiiiii banget!
            Sepuluh detik. Setengah menit. Satu menit lebih. Layar ponselku tak juga menyala. Sedikit kecewa.
            Namun tiba-tiba ponselku menyala dan bergetar. Sebuah panggilan dari Vionita. Segera kuterima.
            “Halo?”
            “Iya Kay...maaf aku malas mengetik SMS.”
            Ooohh...”
            “Senior mana yang kamu maksud?”
            “Ya itu, yang aku sebutkan tadi Vi...”
            “Di lingkungan Seni Musik banyak lah yang rambutnya gondrong dan dikuncir!”
            Aku terdiam. Bodoh! Mengapa tak terpikirkan sejak awal? Mahasiswa yang berkecimpung di dunia seni didominasi orang yang berambut gondrong.
            “Kay?”
            “Iya Vio, ya sudaaah... kayaknya kamu memang nggak tahu. Bye! Good
night!” Kuputus telepon darinya. Ini tak sopan.
***
            Pagi ini aku bersama Sisy berjalan menuju kantin fakultas. Kantin cukup luas dengan enam depot berbeda, tiga depot saling berhadapan. Di tengah kantin, ada tangga menuju lantai dua. Di sanalah perpustakaan fakultas.
            Aku hanya menatap semangkuk nasi soto di depanku. Dan Sisy melahapnya.
            Eeh..itu tuh!”kata Sisy di sela makannya. Mata Sisy menangkap sosok di belakangku. Dia! Senior yang rambutnya mirip Sule itu...
            Kok dia ke atas, sih?”tanyaku pada Sisy.”Emangnya  jam segini perpustakaan sudah buka?”
            Sisy menunduk, menatap mangkuknya, makan. Sementara kedua mataku mengikuti langkah kaki laki-laki itu menaiki tangga. Apakah ia akan lama di dalam sana? Entahlah...
            “Ayo kita ke sana juga!”ucap Sisy mantap.
            Aku melongo.”Serius?”
***
            Hawa dingin AC menerpa wajahku saat kubuka pintu perpustakaan. Penjaga perpustakaan yang duduk di tempatnya, dekat pintu, tersenyum ramah. Sisy meletakkan handbag-nya di loker terbawah. Begitupun ransel merahku.
            Kami melangkah ke tempat baca. Mataku mencari yang kucari. Hingga akhirnya ekor mataku menangkap sosok itu. Dia! Senior yang rambutnya mirip Sule itu...
            Ciyeee...”goda Sisy. Kuambil satu buku di rak terdekat yang tak kutahu pasti judulnya.
            Yaelah...pura-pura baca,”gumam Sisy.
            Senior yang rambutnya mirip Sule itu duduk tepat di depanku. Hanya berbeda meja. Kulihat wajahnya begitu serius, matanya mengarah pada buku yang sampulnya bergambar piano. Hmm, ternyata mahasiswa Seni Musik tak melulu berseliweran menenteng gitar atau alat musik lain, tetapi juga sudi membaca buku.
            “Hai, Kay!” Suara itu memanggilku. Tahu-tahu seseorang sudah duduk di samping kananku. Dony, mahasiswa yang kukenal lewat Facebook, mahasiswa Sastra Jerman angkatan tahun lalu, berkacamata tebal, bersepatu sport cokelat, dan biasanya bercelana cutbray. Bayangkan sendiri!
            “Cowok aneh,”bisik Sisy padaku.
            “Kamu baca buku apa, Kay?”tanya Dony padaku sambil menaikkan kacamatanya yang melorot ke hidung. Aduh, memang dia rayap buku!
            “Baca-baca aja,”jawabku asal. Buru-buru kupalingkan wajahku darinya.
            “Usir dia!”bisik Sisy, namun ditekan.
            Aku mengerutkan dahi.“Ini bukan rumah gue..”
            “Lihat deh, buat apa dia baca majalah kampus terbitan 2007? Gila!”umpat Sisy setelah melihat Dony membolak-balik halaman majalah lama.
            “Aku ada ide!”Kedua mata Sisy berbinar. Lalu tangannya menunjuk loker di depan pintu. Aku menangkap maksudnya. Kusobek selembar kertas dari buku binder, di sobekan kertas itu kutulis nomor ponselku dan salam perkenalan.
            Kok pakai nulis salam kenal?”Sisy heran.
            Lah terus salam apa? Salam pramuka?”timpalku.              
            Aku dan Sisy meninggalkan Dony tanpa kata. Kami berjalan mendekati loker dan mencari tas milik senior yang mirip Sule itu.
            “Ini! Yang ini kan?”Sisy menatapku, sementara satu jarinya menunjuk tas kecil warna hitam di loker paling atas.
            “Iya!”kataku yakin. Segera kuselipkan kertas itu pada lipatan tas.
            “Yuk!”Sisy menarik lengan kananku. Kami cepat-cepat keluar meninggalkan perpustakaan.
***
            Getar ponsel di bawah bantal biru muda membuatku terbangun. Kuraba bawah bantal dan kutemukan ponselku. Sebuah pesan singkat dari nomor yang tak kukenal.
            Hay...Ini Kay ya?
            Aku terkesiap. Siapa? Lalu kubalas pesan singkat itu.
            Iya..Kamu siapa?
            Tak berapa lama pesanku dibalas.
            Kamu yang naruh kertas kecil di tasku kan?
            Sebenernya nggak perlu Kay..
            Ups, ternyata dia! Senior itu! Jantungku terasa berhenti berdetak. Pikiranku melayang. Namun getar ponselku kembali menyadarkan. Senior itu mengirim pesan lagi.
            Kamu kira aku nggak tahu, kalo kamu lihat aku?
            Tulisan itu membuatku tersipu. Tak lama, ia mengirim pesan lagi. Gila, ini namanya buang bonus SMS!
            Kamu kok tahu sih, tasku yang itu? Padahal tasku kan baru...
            Aku bingung. Tas baru? Bukankah tas itu yang selama ini ia pakai? Segera kubalas pesan yang membingungkan ini.
            Eh mas, kamu anak Seni Musik kan?
            Semenit kemudian pesanku terbalas.
            Musik? Bukan Kay..
            Aku Dony
            Kali ini jantungku benar-benar berhenti berdetak. Pandanganku mulai kabur. Tetapi semuanya kembali normal saat Sisy meneleponku.
            “Halo, Kay! Kamu nggak boleh naksir dia!”
            “Maksud kamu..?”
            “Kamu tahu, senior yang mirip Sule itu memang mahasiswa Seni Musik, semester empat! Tapi, dia lulusan SMA dua tahun di atas kita!”
            “Tua, dong? Terus?”
            “Dia sudah nikah..”
            Tut tut tuuut... Panggilan terputus. Kubenamkan layar ponselku ke atas bantal. Tanganku lemas. Aku gagal.

Komentar

Postingan Populer