Pagi
ini aku bersama beberapa teman kuliahku bimbang dalam ketidakpastian dosen.
“Kuliah kriya anyam jam berapa, Kay?”Tanya Rere padaku.
“Iya...kapan, Kay? Sudah siang nih...”gerutu Sisy. Teman-teman Seni
Rupa kelas B yang lain, yang duduk di depanku ikut menggerutu.
“Hiiih...bawel
kalian! Kesalahan dosen nih...”kataku.
Aku melangkah ke ruang dosen. Ternyata ruangan sepi. Jam cokelat tua di atas
meja pembantu jurusan menunjukkan pukul 08.35. Aku pun kembali keluar.
Teman-teman perempuanku masih di sana.
“...sudah, ya! Aku lihat ke bawah
dulu, siapa tahu ada Bu Lani di lantai bawah,” ucapku lalu melangkah pergi,
menuruni tangga.
Kurang beberapa anak tangga menuju
lantai satu, langkahku terhenti. Aku menahan napas. Dia! Laki-laki itu, tentu seorang
mahasiswa, berjalan menaiki tangga. Di belakangnya, dua temannya mengikuti.
“Sisy...!” Aku kembali menaiki
tangga dan menemui Sisy di depan ruang dosen.
“Itu..cowok yang pernah aku
ceritakan ke kamu!”bisikku padanya, sambil menunjuk ke tangga. Laki-laki itu
bersama dua temannya melenggang di depan kami, lalu kembali menaiki tangga ke
lantai tiga.
“Ooh...dia?
Cowok yang katamu sering pakai celana khas
Armand Maulana!” Sisy terus memperhatikan laki-laki itu.
“Cakep sih...tapi sekilas mirip Sule, ya?” Sisy menatapku. Aku terkesiap.
Sebenarnya, laki-laki itu tak benar-benar mirip Sule, komedian Bandung yang
berambut ‘blonde buatan’ yang selalu dikuncir itu. Hanya gaya kuncir rambut
mereka berdua yang tampak sama. Jadi? Sekilas mereka mirip.
“Iya...rambutnya panjang sih, dikuncir...”ucapku.
“Eh,
tapi mukanya tua banget, ya? Kayak sudah
punya anak...”koar Sisy asal.
Aku melongo. Sisy tertawa kecil.
“Pasti cowok itu senior Seni
Musik!”tebak Sisy di akhir tawanya.
“Emaaang!
Di lantai tiga kan jurusan
itu!”teriakku, tepat di telinga kirinya. Sisy mendorong kepalaku.
“Namanya siapa, kamu tahu nggak?”tanya Sisy penasaran. Aku hanya
menggeleng seperti orang linglung.
***
Malam ini aku masih terjaga,
berkutat dengan ponsel qwerty-ku.
Padahal sejak dua jam lalu aku berbaring di tempat tidurku, tetapi mataku tak
juga terpejam. Bukan insomnia, hanya kecanduan Facebook.
Beranda Facebook-ku dipenuhi status terbaru teman-temanku yang itu-itu
saja. Agung, Nanda, Afik, Zein, Mitha, dan aku sendiri. Hahaha, kecanduan Facebook!
Beberapa detik kemudian status terbaru muncul. Vionita dengan status yang
isinya kekecewaan karena pacar. Basi!
Tunggu! Bukankah gadis chubby itu mahasiswi Seni Musik? Segera
kutuju halaman profil Vionita. Di sana kuketikkan sesuatu :
Viooo...SMS
aku yah! J
Penting!
Detik itu aku menemukan jalan pintas. Setelah bertanya-tanya pada
Vionita, aku pasti tahu siapa sebenarnya mahasiswa yang mirip Sule itu karena
Vio adalah adik kelasnya. Vio mengirim pesan di inbox Facebookku. Isinya sebuah nomor GSM yang sama dengan
operatorku. Akhirnya kukirim pesan singkat padanya melalui ponselku.
Vio,
ini aku Kay.
Sepuluh detik setelah
pesanku terkirim, balasan dari Vionita sudah masuk ponselku.
Iya
Kay. Ada perlu apa nih?
Aduh! Dia menanyakan inti pesanku?
Ya! Pesan itu segera kubalas.
Kamu
kenal banyak seniormu ya? Kamu tahu nggak, senior yg rambutnya panjang,
dikuncir gitu...rapiiiii banget!
Sepuluh detik. Setengah menit. Satu
menit lebih. Layar ponselku tak juga menyala. Sedikit kecewa.
Namun tiba-tiba ponselku menyala dan
bergetar. Sebuah panggilan dari Vionita. Segera kuterima.
“Halo?”
“Iya Kay...maaf aku malas mengetik
SMS.”
“Ooohh...”
“Senior mana yang kamu maksud?”
“Ya itu, yang aku sebutkan tadi
Vi...”
“Di lingkungan Seni Musik banyak lah yang rambutnya gondrong dan dikuncir!”
Aku terdiam. Bodoh! Mengapa tak
terpikirkan sejak awal? Mahasiswa yang berkecimpung di dunia seni didominasi orang
yang berambut gondrong.
“Kay?”
“Iya Vio, ya sudaaah... kayaknya kamu memang nggak tahu. Bye! Good
night!” Kuputus telepon darinya. Ini tak sopan.
***
Pagi ini aku bersama Sisy berjalan
menuju kantin fakultas. Kantin cukup luas dengan enam depot berbeda, tiga depot
saling berhadapan. Di tengah kantin, ada tangga menuju lantai dua. Di sanalah
perpustakaan fakultas.
Aku hanya menatap semangkuk nasi soto
di depanku. Dan Sisy melahapnya.
“Eeh..itu
tuh!”kata Sisy di sela makannya. Mata
Sisy menangkap sosok di belakangku. Dia! Senior yang rambutnya mirip Sule
itu...
“Kok
dia ke atas, sih?”tanyaku pada Sisy.”Emangnya jam segini perpustakaan sudah buka?”
Sisy menunduk, menatap mangkuknya,
makan. Sementara kedua mataku mengikuti langkah kaki laki-laki itu menaiki
tangga. Apakah ia akan lama di dalam sana? Entahlah...
“Ayo kita ke sana juga!”ucap Sisy mantap.
Aku melongo.”Serius?”
***
Hawa dingin AC menerpa wajahku saat
kubuka pintu perpustakaan. Penjaga perpustakaan yang duduk di tempatnya, dekat
pintu, tersenyum ramah. Sisy meletakkan handbag-nya
di loker terbawah. Begitupun ransel merahku.
Kami melangkah ke tempat baca.
Mataku mencari yang kucari. Hingga akhirnya ekor mataku menangkap sosok itu.
Dia! Senior yang rambutnya mirip Sule itu...
“Ciyeee...”goda
Sisy. Kuambil satu buku di rak terdekat yang tak kutahu pasti judulnya.
“Yaelah...pura-pura
baca,”gumam Sisy.
Senior yang rambutnya mirip Sule itu
duduk tepat di depanku. Hanya berbeda meja. Kulihat wajahnya begitu serius,
matanya mengarah pada buku yang sampulnya bergambar piano. Hmm, ternyata mahasiswa Seni Musik tak melulu berseliweran menenteng
gitar atau alat musik lain, tetapi juga sudi membaca buku.
“Hai, Kay!” Suara itu memanggilku.
Tahu-tahu seseorang sudah duduk di samping kananku. Dony, mahasiswa yang
kukenal lewat Facebook, mahasiswa
Sastra Jerman angkatan tahun lalu, berkacamata tebal, bersepatu sport cokelat, dan biasanya bercelana cutbray. Bayangkan sendiri!
“Cowok aneh,”bisik Sisy padaku.
“Kamu baca buku apa, Kay?”tanya Dony
padaku sambil menaikkan kacamatanya yang melorot ke hidung. Aduh, memang dia rayap buku!
“Baca-baca aja,”jawabku asal. Buru-buru kupalingkan wajahku darinya.
“Usir dia!”bisik Sisy, namun
ditekan.
Aku mengerutkan dahi.“Ini bukan
rumah gue..”
“Lihat
deh, buat apa dia baca majalah kampus
terbitan 2007? Gila!”umpat Sisy setelah melihat Dony membolak-balik halaman
majalah lama.
“Aku ada ide!”Kedua mata Sisy
berbinar. Lalu tangannya menunjuk loker di depan pintu. Aku menangkap
maksudnya. Kusobek selembar kertas dari buku binder, di sobekan kertas itu kutulis nomor ponselku dan salam
perkenalan.
“Kok
pakai nulis salam kenal?”Sisy heran.
“Lah
terus salam apa? Salam pramuka?”timpalku.
Aku dan Sisy meninggalkan Dony tanpa
kata. Kami berjalan mendekati loker dan mencari tas milik senior yang mirip
Sule itu.
“Ini! Yang ini kan?”Sisy menatapku, sementara satu jarinya menunjuk tas kecil
warna hitam di loker paling atas.
“Iya!”kataku yakin. Segera
kuselipkan kertas itu pada lipatan tas.
“Yuk!”Sisy menarik lengan kananku.
Kami cepat-cepat keluar meninggalkan perpustakaan.
***
Getar ponsel di bawah bantal biru
muda membuatku terbangun. Kuraba bawah bantal dan kutemukan ponselku. Sebuah
pesan singkat dari nomor yang tak kukenal.
Hay...Ini
Kay ya?
Aku terkesiap. Siapa? Lalu kubalas
pesan singkat itu.
Iya..Kamu
siapa?
Tak berapa lama pesanku dibalas.
Kamu
yang naruh kertas kecil di tasku kan?
Sebenernya nggak perlu Kay..
Ups,
ternyata dia! Senior itu! Jantungku terasa berhenti berdetak. Pikiranku
melayang. Namun getar ponselku kembali menyadarkan. Senior itu mengirim pesan
lagi.
Kamu
kira aku nggak tahu, kalo kamu lihat aku?
Tulisan itu membuatku tersipu. Tak
lama, ia mengirim pesan lagi. Gila, ini namanya buang bonus SMS!
Kamu
kok tahu sih, tasku yang itu? Padahal tasku kan baru...
Aku bingung. Tas baru? Bukankah tas
itu yang selama ini ia pakai? Segera kubalas pesan yang membingungkan ini.
Eh
mas, kamu anak Seni Musik kan?
Semenit kemudian pesanku terbalas.
Musik?
Bukan Kay..
Aku Dony
Kali ini jantungku benar-benar
berhenti berdetak. Pandanganku mulai kabur. Tetapi semuanya kembali normal saat
Sisy meneleponku.
“Halo, Kay! Kamu nggak boleh naksir dia!”
“Maksud kamu..?”
“Kamu tahu, senior yang mirip Sule
itu memang mahasiswa Seni Musik, semester empat! Tapi, dia lulusan SMA dua
tahun di atas kita!”
“Tua, dong? Terus?”
“Dia sudah nikah..”
Tut tut tuuut... Panggilan terputus.
Kubenamkan layar ponselku ke atas bantal. Tanganku lemas. Aku gagal.
Komentar
Posting Komentar